Senin, 28 Oktober 2019

Pit dan Fissure

PIT DAN FISSURE 


Hasil gambar untuk fissure sealant

Pit dan Fissure
Pit adalah titik terdalam berada pada pertemuan antar beberapa groove atau akhir dari groove. Istilah pit sering berkaitan dengan fisura. Fisura adalah garis berupa celah yang dalam pada permukaan gigi (Russel C.Wheeler, 1974). Macam pit dan fisura bervariasi bentuk dan kedalamannya, dapat berupa tipe U (terbuka cukup lebar); tipe V (terbuka, namun sempit); tipe I (bentuk seperti leher botol).
Bentuk pit dan fisura bentuk U cenderung dangkal, lebar sehingga mudah dibersihkan dan lebih tahan karies. Sedangkan bentuk pit dan fisura bentuk V atau I cenderung dalam, sempit dan berkelok sehingga lebih rentan karies. Bentukan ini mengakibatkan penumpukan plak, mikroorganisme dan debris.
Morfologi permukaan oklusal gigi bervariasi berbagai individu. Pada umumnya bentuk oklusal pada premolar nampak dengan tiga atau empat pit. Pada molar biasanya terdapat sepuluh pit terpisah dengan fisura tambahan (M. John hick dalam J.R Pinkham, 1994: 454).

Histopatologi Karies pada Pit dan Fisura

Permukaan oklusal gigi posterior merupakan daerah yang paling rawan untuk terjadinya karies. Bentuk anatiomis gigi ini yang memungkinkan terjadinya retensi dan maturasi plak. Aktivitas bakteri dalam plak berakibat terjadinya fluktuasi pH. Kondisi naiknya pH memberikan keuntungan terjadinya penambahan mineral (remineralisasi) gigi, sedangkan turunnya pH akan berakibat hilangnya mineral gigi. Kehilangan mineral ini merupakan suatu proses demineralisasi jaringan keras yang menjadi tanda dan gejala sebuah penyakit (Sari Kervanto, 2009: 9).
Gejala dini suatu karies enamel yang terlihat secra makroskopik adalah berupa bercak putih. Bercak ini memiliki warna yang tampak sangat berbeda dengan enamel sekitarnya yang masih sehat. Kadang-kadang lesi akan tampak berwarna coklat disebabkan oleh materi di sekelilingnya yang terserap ke dalam pori-porinya. Baik bercak putih maupun bercak coklat bisa bertahan tahunan lamanya (Edwina A.M. Kidd, 1992:19).
Istilah karies fisura menggambarkan adanya karies pada pit dan fisura. Karies berawal dari dinding-dinding fisura. Karies ini membesar ukurannya dan menyatu pada dasar fisura. Karies enamel akan melebar kearah dentin dibawahnya sesuai dengan arah prisma enamelnya. Arah perkembangan karies ke lateral sehingga terbentuk karies yang menggaung (Edwina A.M. Kidd, 1992:25).
Awal pembentukan karies dimulai dari fisura, yaitu bagian terdalam dan bagian paling dasar dari permukaan gigi. Kemudian karies berlanjut ke arah lateral dinding fisura dan lereng cusp (M. John hick dalam J.R Pinkham, 1994: 454).
Enamel pada dasar fisura merupakan daerah yang terkena karies paling awal, karies akan menyebar sepanjang enamel, kemudian karies berlanjut hingga dentinoenamel junction. Bila dentin terkena karies, maka perkembangan karies menjadi lebih cepat dibandingkan saat enamel terkena lesi. Pada kavitas fisura terjadi kehilangan mineral dan struktur pendukung dari enamel dan dentin, sehingga secara klinis nampak karies (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 455).
Karies secara histologi dibagi dalam zona-zona berdasarkan pemeriksaan dengan mikroskop cahaya,
  • Zone 1: Zona Translusen

Zona ini tidak terlihat disemua lesi, tetapi jika ada akan terletak pada bagian depan dan merupakan daerah perubahan awal dari gambaran normal. Zona ini tampak tidak berstruktur, translusen berbatasan dengan zona gelap di daerah permukaan dan enamel normal di bawahnya. Dibandingkan dengan enamel normal, zone ini lebih porus dikarenakan proses demineralisasi.
  • Zona 2: Zona Gelap

Zona gelap merupakan daerah kedua dari perubahan email normal berada tepat di atas zona translusen.  Zona gelap lebih porus daripada zona translusen. Pada zona gelap ini terdapat pori-pori kecil. Pori-pori ini merupakan daerah penyembuhan temapat mineral telah didepositkan kembali.
  • Zona 3: Badan Lesi

Zona ini merupakan daerah yang terbesar. Zona ini terletak di atas zona gelap dan di bagian dalam permukaan karies. Daerah ini berwarna lebih gelap karena adanya molekul air yang memasuki pori-pori jaringan dimana indeks refraksi air berbeda dengan enamel. Volume pori-pori area ini sekitar 5% di pinggir dan makin membesar ke pusatnya hingga 25%.
  • Zona 4: Zona Permukaan

Zona ini terlihat paling jelas. Volume pori-pori zona permukaan ini berkisar 1% tapi jika karies terus berkembang maka area ini akhirnya akan hancur dan terbentuklah kavitas. Lapisan permukaan yang relatif tidak terserang ini berhubungan dengan sifat-sifat enamel yang mempunyai derajat remineralisasi tinggi, kandungan fluor yang banyak, dan kemungkinan jumlah protein yang tidak larut lebih besar disbanding dengan lapisan di bawahnya (Edwina A.M. Kidd, 1992:21-4).
Setelah enamel terkena karies, diperlukan waktu sekitar 3-4 tahun karies berkembang hingga mencapai dentin. Perkembangan karies secara klinis terdeteksi tergantung hilangnya ketebalan enamel dan bentukan morfologis pit dan fisura (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 456).

Perawatan Pit dan Fisura
            Menurut M. John Hick (dalam J.R Pinkham, 1994: 456), sejumlah pilihan perawatan bagi para dokter gigi dalam merawat pit dan fisura, meliputi:
a.       Melalui pengamatan (observasi), menjaga oral higiene, dan pemberian fluor
b.      Pemberian sealant
Upaya pencegahan terjadinya karies permukaan gigi telah dilakukan melalui fluoridasi air minum, aplikasi topikal fluor selama perkembangan enamel, dan program plak kontrol. Namun tindakan ini tidak sepenuhnya efektif menurunkan insiden karies pada pit dan fisura, dikarenakan adanya sisi anatomi gigi yang sempit (Robert G.Craig:1979: 29).
Pemberian fluor secara topikal dan sistemik, tidak banyak berpengaruh terhadap insidensi karies pit dan fisura. Hal ini karena pit dan fisura merupakan daerah cekungan yang dalam dan sempit. Fluor yang telah diberikan tidak cukup kuat untuk mencegah karies. (R.J Andlaw, 1992: 58). Pemberian fluor ini terbukti efektif bila diberikan pada permukaan gigi yang halus, dengan pit dan fisura minimal (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 455). 
Upaya lain dalam pencegahan karies pit dan fisura telah dilakukan pada ujicoba klinis pada tahun 1965 melalui penggunaan sealant pada pit dan fisura. Tujuan sealant pada pit dan fisura adalah agar sealant berpenetrasi dan menutup semua celah, pit dan fisura pada permukaan oklusal baik gigi sulung maupun permanent. Area tersebut diduga menjadi tempat awal terjadinya karies dan sulit dilakukan pembersihan secara mekanis (Robert G.Craig :1979: 29).
Indikasi pemberian sealant pada pit dan fisura adalah sebagai berikut:
  1. Dalam, pit dan fisura retentif
  2. Pit dan fisura dengan dekalsifikasi  minimal
  3. Karies pada pit dan fisura atau restorasi pada gigi sulung atau permanen lainnya
  4. Tidak adanya karies interproximal
  5. Memungkinkan isolasi adekuat terhadap kontaminasi saliva
  6. Umur gigi erupsi kurang dari 4 tahun.
Sedangkan kontraindikasi pemberian sealant pada pit dan fisura adalah
  1. Self cleansing yang baik pada pit dan fisura
  2. Terdapat tanda klinis maupun radiografis adanya karies interproximal yang memerlukan perawatan
  3. Banyaknya karies interproximal dan restorasi
  4. Gigi erupsi hanya sebagian dan tidak memungkinkan isolasi dari kontaminasi saliva
  5. Umur erupsi gigi lebih dari 4 tahun.
Pertimbangan lain dalam pemberian sealant juga sebaiknya diperhatikan. Umur anak berkaitan dengan waktu awal erupsi gigi-gigi tersebut. Umur 3-4 tahun merupakan waktu yang berharga untuk pemberian sealant pada geligi susu; umur 6-7 tahun merupakan saat erupsi gigi permanen molar pertama; umur 11-13 tahun merupakan saatnya molar kedua dan premolar erupsi. Sealant segera dapat diletakkan pada gigi tersebut secepatnya. Sealant juga seharusnya diberikan pada gigi dewasa bila terbukti banyak konsumsi gula berlebih atau karena efek obat dan radiasi yang mengakibatkan xerostomia (Norman O. Harris, 1999: 245-6).


Etsa Asam
Sejak tahun 1950-an sejumlah laboratorium dan klinik mempelajari tipe asam, konsentrasi asam, dan lama pengetsaan yang bisa memberikan perlekatan optimal bahan bonding dengan kehilangan minimal pada permukaan enamel. Asam fosfor dengan konsentrasi 35-40% dengan aplikasi selama 15-20 detik untuk gigi permanen dan gigi sulung telah memberikan perlekatan yang bagus, dengan kehilangan minimal pada permukaan enamel.
            Etsa asam pada permukaan enamel menghasilkan sejumlah porositas. Dengan adanya porositas ini, maka bahan sealant masuk ke dalam porositas yang telah dibuat. Dengan demikian terjadi retensi mekanis antara enamel yang dietsa dengan bahan sealant (M. John hick dalam J.R Pinkham, 1994: 470).
Aplikasi asam fosfor selama satu menit menghilangkan kira-kira 10 milimikron email permukaan dan etsa permukaan dibawahnya sampai kedalaman 20 milimikron. Etsa menghasilkan kedalaman 20 milimikron. Etsa menghasilkan lapisan porus sehingga resin dapat mengalir masuk; porositas ini memberikan permukaan retensi mekanis yang sangat baik (R.J Andlaw, 1992: 58).
Menurut Carline Paarmann (1991), pemberian etsa asam fosfor selama satu menit dapat menghilangkan mineral permukaan gigi dengan kedalaman 15-25 milimikron. Dan secara klinis warna nampak pudar, putih seperti kapur atau seperti warna es. Hasil etsa berupa resin tag yang berperan penting dalam retensi dan keberhasilan aplikasi sealant.
Tahapan penting dalam aplikasi sealant adalah pada saat pengetsaan dilakukan. Bila saliva dibiarkan kontak dengan bahan etsa, maka proses etsa akan terhambat. Karena adanya kontak dengan saliva, proses remineralisasi gigi segera terjadi. Bila kontak saliva terjadi, maka etsa ulang dilakukan selama 20-30 detik. Bahan etsa yang digunakan adalah asam fosfor dengan konsentrasi 35-37% dan dilakukan aplikasi selama 30-60 detik.
Dentin kondisioner merupakan bahan yang digunakan untuk meningkatkan perlekatan bahan glass ionomer dan dentin, dengan cara menghilangkan smear layer dentin. Bahan yang biasanya digunakan adalah asam poliakrilat 10 % yang diaplikasikan selama 20 detik (Carline Paarmann, 1991:14).
Bahan material sealant tidak hanya secara sederhana melekat di atas permukaan enamel, tetapi melalui penetrasi bahan ke dalam mikroporositas yang terbentuk selama proses pengetsaan. Infiltrasi etsa pada enamel menghasilkan bentukan resin tag dimana menyediakan retensi mekanis bahan sealant. Resin tag yang terbentuk selama pengetsaan memiliki kedalaman 25-50 mikrometer.
Resin tag mempunyai sejumlah fungsi. Resin tag menyediakan retensi mekanis bagi bahan sealant. Bis-GMA adalah bahan material sealant yang tidak larut asam dan menyediakan proteksi terhadap adanya pembentukan karies selama adanya ikatan resin dan enamel. Ikatan resin dan enamel merupakan barier terhadap kolonisasi bakteri, menutupi fisura dan menghalangi terjebaknya sisa makanan ke dalam fisura (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 471-2).

Bahan Penutup Pit dan Fisura
Terdapat beberapa bentukan pit dan fisura, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Bahan sealant yang ada diaplikasikan untuk menutupi bentukan anatomi tersebut, guna mencegah masuknya bakteri, food debris ke dalam pit dan fisura (Carline Paarmann, 1991:10).
Pencegahan karies pada permukaan gigi terutama, pit dan fisura perlu perhatian khusus. Hal ini dikarenakan bagian ini merupakan daerah yang paling rentan karies. Prevalensi karies oklusal pada anak-anak terbanyak ditemukan pada permukaan pit dan fisura. Area ini sering tidak terjangkau oleh bulu sikat gigi. Molar pertama merupakan gigi permanen yang memiliki waktu terlama berada dalam rongga mulut.
Sealant diaplikasikan pada pit dan fisura guna menutup dan melindungi dari karies. Bahan sealant dibedakan menurut bahan dasar yang digunakan, metode polimerisasi, dan ada tidaknya kandungan fluoride. Meskipun kebanyakan sealant di pasaran, bahan sealant berbahan dasar dan memiliki komposisi kimia sama, namun hal ini penting guna mengetahui keefektifan dan kemampuan retensi masing-masing bahan tersebut.                     
Kemampuan sealant untuk melepaskan fluoride, pada permukaan pit dan fisura akan memberikan keuntungan tersendiri pada bahan sealant semen ionomer. Semen ionomer disarankan sebagai bahan ideal untuk menutup pit dan fisura karena memiliki kemampuan melepas fluoride dan melekat pada enamel (Subramaniam, 2008).

Bahan Sealant Berbasis Resin
a. Bahan matriks resin
Bahan matriksnya adalah bisfenol A-glisidil metakrilat (bis-GMA), suatu resin dimetakrilat. Karena bis-GMA memiliki berat molekul yang lebih tinggi dari metal metakrilat, kepadatan gugus metakrilat berikatan ganda adalah lebih rendah dalam monomer bis-GMA, suatu faktor yang mengurangi pengerutan polimerisasi. Penggunaan dimetakrilat juga menyebabkan bertambahnya ikatan silang dan perbaikan sifat polimer (Kenneth J Anusavice, 2004: 230).
Bis-GMA, urethane dimetrakilat (UEDMA), dan trietil glikol dimetakrilat (TEGDMA) adalah dimetakrilat yang umum digunakan dalam komposit gigi. Monomer dengan berat molekul tinggi, khususnya bis-GMA amatlah kental pada temperature ruang. Penggunaan monomer pengental penting untuk memperoleh tingkat pengisi yang tinggi dan menghasilkan konsistensi pasta yang dapat digunakan secara klinis. Pengencer bisa berupa monomer metakrilat dan monomer dimetakrilat (Kenneth J Anusavice, 2004: 230).
Kebanyakan bahan resin saat ini menggunakan molekul bis-GMA, yang merupakan monomer dimetakrilat yang disintesis oleh reaksi antara bisfenol-A dan glisidil metakrilat. Reaksi ini dikatalisasi melalui sistem amine-peroksida (Lloyd Baum, 1997: 254).

b. Partikel bahan pengisi
Dimasukkannya partikel bahan pengisi ke dalam suatu matriks secara nyata meningkatkan sifat bahan matriks bila partikel pengisi benar-benar berikatan dengan matriks.  Penyerapan air dan koefisiensi termal dari komposit juga lebih kecil dibandingkan dengan resin tanpa bahan pengisi. Sifat mekanis seperti kekuatan kompresi, kekuatan tarik, dan modulus elastis membaik, begitu juga ketahanan aus. Semua perbaikan ini terjadi dengan peningkatan volume fraksi bahan pengisi (Kenneth J Anusavice, 2004: 230-1).
Bis-GMA saat ini merupakan matriks resin pilihan sebagai bahan sealant. Bisa dengan atau tanpa bahan pengisi. Penambahan bahan pengisi meliputi serpih kaca mikroskopis, partikel quartz dan bahan pengisi lainnya. Bahan ini membuat sealant lebih tahan terhadap abrasi (Norman O. Harris, 1999: 246).
Bahan yang digunakan bahan pengisi makro adalah partikel-partikel halus dari komponen silika, cristalin quartz, atau silikat glass boron. Quartz telah digunakan secara luas sebagai bahan pengisi. Quartz memiliki keunggulan sebagai bahan kimia yang kuat. Sementara sifat radiopak bahan pengisi disebabkan oleh sejumlah kaca dan porselen yang mengandung logam berat seperti barium, strontium dan zirconium. Penambahan bahan pengisi mengurangi pengerutan pada saat polimerisasi dan menambah kekerasan (Lloyd Baum, 1997: 254).

c. Bahan coupling
Bahan pengisi sangatlah penting berikatan dengan matriks resin. Hal ini memungkinkan matriks polimer lebih fleksibel dalam meneruskan tekanan ke partikel yang lebih kaku. Ikatan antara 2 fase komposit diperoleh dengan bahan coupling. Aplikasi bahan coupling yang tepat dapat meningkatan sifat mekanis dan fisik serta memberikan kestabilan hidrolitik dengan mencegah air menembus sepanjang antar bahan pengisi dan resin. Ī³-metakriloksipropiltrimetoksi silane adalah bahan yang sering digunakan sebagai bahan coupling (Kenneth J Anusavice, 2004: 230-1).

d. Penghambat
Untuk mencegah polimerisasi spontan dari monomer, bahan penghambat ditambahkan pada sistem resin. Penghambat ini mempunyai potensi reaksi kuat dengan radikal bebas. Bila radikal bebas telah terbentuk, bahan penghambat akan bereaksi dengan radikal bebas kemudian menghambat perpanjangan rantai dengan mengakhiri kemampuan radikal bebas untuk mengawali proses polimerisasi. Bahan penghambat yang umum digunakan adalah butylated hydroxytoluene (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232).

e. Sifat bahan resin
Secara umum resin memiliki sifat mekanis yang baik, kelarutan bahan resin sangat rendah. Sifat termis bahan resin sebagai isolator termis yang baik. Bahan resin memiliki koefisien termal yang tinggi. Kebanyakan resin bersifat radiopaque (E.C Combe, 1992: 176-7).
            Resin memiliki karakteristik warna yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan perawatan. Sifat mekanis yang baik sehingga dapat digunakan pada gigi dengan beban kunyah besar. Terjadinya pengerutan selama proses polimerisasi yang tinggi menyebabkan kelemahan klinis dan sering menyebabkan kegagalan. Kebocoran tepi akibat pengerutan dalam proses polimerisasi  dapat menyebabkan karies sekunder. Pemolesan bahan harus bagus karena kekasaran pada permukaan komposit dapat dijadikan tempat menempelnya plak (Kenneth J Anusavice, 2004: 247).

f. Indikasi fisure sealant berbasis resin
Penggunaan sealant berbasis resin digukanan pada hal berikut:
  1. Digunakan pada geligi permanen
  2. Kekuatan kunyah besar
  3. Insidensi karies relatif rendah
  4. Gigi sudah erupsi sempurna
  5. Area bebas kontaminasi atau mudah dikontrol
  6. Pasien kooperatif, karena banyaknya tahapan yang membutuhkan waktu lebih lama
2.7  Pengerasan Sealant Berbasis Resin
Terdapat dua tipe bis-GMA yaitu yang mengalami polimerisasi setelah pencampuran komponen katalis dan yang mengalami polimerisasi hanya setelah sumber sinar yang sesuai. Sampai sekarang sinar ultraviolet (panjang gelombang 365 nm) telah digunakan, tetapi telah banyak digantikan oleh sinar tampak (biru) dengan panjang gelombang 430-490 nm (R.J Andlaw, 1992: 58).

2.7.1 Pengerasan Sealant Berbasis Resin secara Otomatis
Proses ini kadang disebut dengan cold curing, chemical curing, atau self curing. Bahan yang dipasok dalam 2 pasta, satu mengandung inisiator benzoil peroksida dan lainnya mengandung amin tersier. Bila kedua pasta diaduk, amin bereaksi dengan benzoil peroksida untuk membentuk radikal bebas dan polimerisasi tambahan dimulai (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232).
Sealant bis-GMA dipolimerisasi oleh bahan amina organik akselerator yang terdiri atas dua sistem komponen. Komponen pertama berisi bis-GMA tipe monomer dan inisiator benzoil peroksida, dan komponen kedua berisi tipe monomer bis-GMA dengan akselerator 5% amina organik. Monomer bis-GMA dilarutkan dengan monomer metal metakrilat.  Sebuah bahan sealant komersil berisi pigmen putih, dimana mengandung 40% bahan partikel quartz dengan diameter rata-rata 2 mikrometer. Kedua komponen tadi bercampur sebelum diaplikasikan ke gigi dan berpolimerisasi ikatan silang sebagai reaksi sederhana (Norman O.Harris, 1979: 30)
 Pada bahan ini operator tidak memiliki kemampuan mengendalikan waktu kerja setelah bahan diaduk. Jadi pembentukan kontur restorasi harus diselesaikan begitu tahap inisiasi selesai. Jadi proses polimerisasi terus-menerus terganggu sampai operator telah menyelesaikan proses pembentukan kontur restorasi (Kenneth J. Anusavice, 2004: 235).

2.7.2 Pengerasan Sealant Berbasis Resin dengan Sinar
Radikal bebas pemula reaksi polimerisasi terdiri atas foto-inisiator dan activator amin terdapat dalam satu pasta. Bila tidak terkena sinar, maka kedua komponen tersebut tidak bereaksi. Pemaparan terhadap sinar dengan panjang gelombang yang tepat (468 nm) merangsang fotoinisiator berinteraksi dengan amin untuk membentuk radikal bebas yang mengawali polimerisasi tambahan.
Foto-inisiator yang digunakan adalah camphoroquinone. Sumber sinar modern biasanya berasal dari bohlam tungsten halogen melalui suatu filter sinar ultra merah dan spectrum sinar tampak dengan panjang gelombang 500 nm (Gambar10). Waktu polimerisasi sekitar 20-60 detik. Untuk mengimbangi penurunan intensitas sinar, waktu pemaparan harus diperpanjang 2 atau 3 kali (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232-5).
Saat ini telah tersedia bahan fissure sealant berbasis resin dalam syringe yang akan berpolimerisasi setelah diaktivasi dengan sinar (Gambar 9). Sealant bis-GMA berpolimerisasi dengan sinar ultraviolet (340-400 nm) adalah satu sistem tanpa diperlukan adanya pencampuran. Tiga bahan kental monomer bis-GMA dilarutkan dengan 1 bagian monomer metil metakrilat. Dengan aktivator berupa 2% benzoin metil eter (Robert G. Craig, 1979: 30).

2.8  Teknik Aplikasi Fissure Sealant Berbasis Resin
2.8.1 Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure sealant menggunakan brush dan pumis (Gambar 1)
Syarat pumis yang digunakan dalam perawatan gigi:
  1. Memiliki kemampuan abrasif ringan
  2. Tanpa ada pencampur bahan perasa
  3. Tidak mengandung minyak
  4. Tidak mengandung Fluor
  5. Mampu membersihkan dan menghilangkan debris, plak dan stain
  6. Memiliki kemampuan poles yang bagus
2.8.2 Pembilasan dengan air   
Syarat air:
  1. Air bersih
  2. Air tidak mengandung mineral
  3. Air tidak mengandung bahan kontaminan
2.8.3 Isolasi gigi
      Gunakan cotton roll atau gunakan rubber dam

2.8.4 Keringkan permukaan gigi selama 20-30 detik dengan udara.
Syarat udara :
  1. Udara harus kering
  2. Udara tidak membawa air (tidak lembab)
  3. Udara tidak mengandung minyak
  4. Udara sebaiknya tersimpan dalam syringe udara dan dihembuskan langsung ke permukaan gigi.
2.8.4 Lakukan pengetsaan pada permukaan gigi
  1. Lama etsa tergantung petunjuk pabrik
  2. Jika jenis etsa yang digunakan adalah gel, maka etsa bentuk gel tersebut harus dipertahankan pada permukaan gigi yang dietsa hingga waktu etsa telah cukup.
  3. Jika jenis etsa yang digunakan adalah berbentuk cair, maka etsa bentuk cair tersebut harus terus-menerus diberikan pada permukaan gigi yang dietsa hingga waktu etsa telah cukup.
2.8.5 Pembilasan dengan air selama 60 detik
Syarat air sama dengan point 2.

2.8.6 Pengeringan dengan udara setelah pengetsaan permukaan pit dan fisura
  1. Syarat udara sama dengan point 3.  
  2. Cek keberhasilan pengetsaan dengan mengeringkannya dengan udara, permukaan yang teretsa akan tampak lebih putih
  3. Jika tidak berhasil, ulangi proses etsa
  4. Letakkan cotton roll baru, dan keringkan
  5. Keringkan dengan udara selama 20-30 detik
2.8.7 Aplikasi bahan sealant
  1. Self curing: campurkan kedua bagian komponen bahan, polimerisasi akan terjadi selama 60-90 detik.
  2. Light curing: aplikasi dengan alat pabrikan (semacam syringe), aplikasi penyinaran pada bahan, polimerisasi akan terjadi dalam 20-30 detik.
2.8.8 Evaluasi permukaan oklusal
  1. Cek oklusi dengan articulating paper
  2. Penyesuaian dilakukan bila terdapat kontak berlebih (spot grinding)
(Donna Lesser, 2001)

2.9 Bahan Sealant Semen Ionomer Kaca
Semen ionomer kaca adalah nama generik dari sekelompok bahan yang menggunakan bubuk kaca silikat dan larutan asam poliakrilat. Bahan ini mendapatkan namanya dari formulanya yaitu suatu bubuk kaca dan asam ionomer yang mengandung gugus karboksil. Juga disebut sebagai semen polialkenoat. Bahan dalam semen ionomer kaca terdiri atas bubuk dan cairan.

a. Bubuk semen ionomer kaca
Bubuk adalah kaca kalsium fluoroaluminosilikat yang larut dalam asam. Komposisi dari bubuk semen ionomer kaca adalah silica, alumina, aluminium fluoride, calsium fluoride, sodium fluoride, dan aluminium phosphate.  Bahan-bahan mentah digabung sehingga membentuk kaca yang seragam dengan memanaskannya samapi temperature 1100-1500 ĀŗC. Lanthanum, strontium, barium, atau oksida seng ditambahkan untuk menimbulkan sifat radiopak (Kenneth J. Anusavice, 2004: 449).

b. Cairan semen ionomer kaca
Cairan yang digunakan untuk semen ini adalah larutan asam poliakrilat dengan konsentrasi 50%. Cairannya cukup kental dan cenderung membentuk gel setelah beberapa waktu. Pada sebagian besar semen, asam poliakrilat dalam cairan adalah dalam bentuk kopolimer dengan asam itikonik, maleik atau trikarbalik. Asam-asam ini cenderung menambah reaktivitas dari cairan, mengurangi kekentalan, dan mengurangi kecenderungan membentuk gel. Selain itu, memperbaiki karakteristik manipulasi dan meningkatkan waktu kerja dan memperpendek waktu pengerasan (Lloyd Baum, 1997: 254).

c. Pengerasan
Ketika bubuk dan cairan dicampur untuk membentuk suatu pasta (gambar 2), permukan partikel kaca akan terpajan asam. Ion-ion kalsium, aluminium, natrium dan fluorin dilepaskan ke dalam media yang bersifat cair. Rantai asam poliakrilat akan berikatan silang dengan ion-ion kalsium dan membentuk masa yang padat.
Selama 24 jam berikutnya, terbentuk fase baru dimana ion-ion aluminium menjadi terikat dalam campuran semen. Ini membuat semen menjadi lebih kaku. Ion natrium dan fluorin tidak berperan serta di dalam ikatan silang dari semen. Beberapa ion natrium dapat menngantikan ion-ion hidrogen dari gugus karboksil, sementara sisanya bergabung dengan ion-ion fluorin membentuk natrium fluoride yang menyebar merata di dalam semen yang mengeras (Kenneth J. Anusavice, 2004: 451).
Mekanisme pengikatan ionomer kaca dengan struktur gigi belum dapat diterangkan dengan jelas. Meskipun demikian, perekatan ini diduga terutama melibatkan proses kelasi dari gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di kristal apatit pada enamel dan dentin. Ikatan antara semen dengan enamel selalu lebih besar daripada ikatannya dengan dentin, mungkin karena kandungan anorganiknya enamel yang lebih banyak dan homogenitasnya lebih besar (Kenneth J. Anusavice, 2004: 452).

d. Sifat semen ionomer kaca
Semen ini memiliki sifat kekerasan yang baik, namun jauh inferior dibanding kekerasan bahan resin. Kemampuan adhesi melibatkan proses kelasi dari gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di kristal apatit enamel dan dentin. Semen ini memiliki sifat anti karies karena kemampuannya melepaskan fluor. Dalam proses pengerasan harus dihindarkan dari saliva karena mudah larut dalam cairan dan menurunkan kemampuan adhesi. Ikatan fisiko kimiawi antara bahan dan permukaan gigi sangat baik sehingga mengurangi kebocoran tepi tumpatan (Kenneth J. Anusavice, 2004: 453).

e. Indikasi fisure sealant semen ionomer kaca
Indikasi penggunaan Fissure sealant dengan semen ionomer kaca  sebagai berikut:
  1. Digunakan pada geligi sulung
  2. Kekuatan kunyah relatif tidak besar
  3. Pada insidensi karies tinggi
  4. Gigi yang belum erupsi sempurna
  5. Area yang kontaminasi sulit dihindari
  6. Pasien kurang kooperatif
2.10  Teknik Aplikasi Fissure Sealant dengan Sealant Semen Ionomer Kaca
2.10.1 Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure sealant menggunakan brush dan pumis (Gambar 1)
Syarat pumis yang digunakan dalam perawatan gigi:
a.       Memiliki kemampuan abrasif ringan
b.      Tanpa ada pencampur bahan perasa
c.       Tidak mengandung minyak
d.      Tidak mengandung Fluor
e.       Mampu membersihkan dan menghilangkan debris, plak dan stain
f.       Memiliki kemampuan poles yang bagus
2.10.2 Pembilasan dengan air  
Syarat air:
a.       Air bersih
b.      Air tidak mengandung mineral
c.       Air tidak mengandung bahan kontaminan
2.10.3 Isolasi gigi
      Gunakan cotton roll atau gunakan rubber dam
2.10.4 Keringkan permukaan gigi selama 20-30 detik dengan udara.
 Syarat udara :
a.       Udara harus kering
b.      Udara tidak membawa air (tidak lembab)
c.       Udara tidak mengandung minyak
d.      Udara sebaiknya tersimpan dalam syringe udara dan dihembuskan langsung ke permukaan gigi.
2.10.5 Aplikasi bahan dentin kondisioner selama 10-20 detik (tergantung instruksi pabrik). Hal ini akan menghilangkan plak dan pelikel dan mempersiapkan semen beradaptasi dengan baik dengan permukaan gigi dan memberikan perlekatan yang bagus (Gambar 3).
2.10.6 Pembilasan dengan air selama 60 detik
Syarat air sama dengan point 2.
2.10.7 Pengeringan dengan udara setelah aplikasi dentin kondisioner permukaan pit dan fisura dilakukan pembilasan
a.       Syarat udara sama dengan point 3.  
b.      Keringkan dengan udara selama 20-30 detik
2.10.8 Aplikasikan bahan SIK pada pit dan fisura (Gambar 4).
2.10.9 Segera aplikasi bahan varnish setelah aplikasi fissure sealant dilakukan (Gambar 5).
2.10.10 Evaluasi permukaan oklusal
a.       Cek oklusi dengan articulating paper
b.      Penyesuaian dilakukan bila terdapat kontak berlebih (spot grinding)


DAFTAR PUSTAKA

Andlaw, RJ and Rock. 1992. Perawatan Gigi Anak. Alih bahasa: Agus Djaya dari A Manual of Pedodontics. Jakarta: EGC
Anusavice, Kenneth J. 1994. Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Baum, Lloyd. 1997. Buku Ajar Ilmu Konservasi Gigi. Alih bahasa oleh Prof. Dr. drg Rasinta Tarigan. Jakarta: EGC
Combe, E.C. 1992. Sari Dental Material. Diterjemahkan drg. Slamet Tarigan, MS, PhD. Jakarta: Balai Pustaka
Craig, Robert G. 1979. Dental Materials. London: Mosby Company
Departement of Health North Sidney. 2008. Pit and Fissure Sealants: Use of in Oral Health Service NSW. Diakses dari http://www.health.nsw.gov.au/policies/pd/2008/pdf/PD2008_028.pdf
         pada 8 Juni 2009
Ganesh, Mahadevan MDS, et al. 2007. Comparative Evaluation of The Marginal Sealing Ability of Fuji VII and Concise as Pit and Fissure Sealants. The Journal Contemporary Dental Practice, diakses dari http://www.thejcdp.com/issue033/ganesh/ganesh.pdf pada 8 Juni 2009.
Harris, O Norman. 1999. Primary Preventive Dentistry Fifth Edition. USA: Appleton & Lange
Kervanto, Sari. 2009. Arresting Occlusal Enamel Caries Lesions with Pit and Fisura Sealants. Academic Dissertation Faculty of Medicine, University of Helsinki. Diakses dari https://oa.doria.fi/bitstream/handle/10024/43707/arrestin.pdf?sequence=1 pada 8 Juni 2009
Kidd, Edwina A. M dan Bechal, Sally Joyston.1992. Dasar-Dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya. Terjemahan Narlan Sumawinata dan Safrida Faruk dari Essential of Dental Caries (1992). Jakarta: EGC
Lesser, Donna, RDH, BS. 2001. An Overview of Dental Sealants. Diakses dari http://www.adha.org/downloads/sup_sealant.pdf pada 8 Juni 2009
Lucas, J, Dr . 2008. Fuji VII Pink or White. Diakses dari http://www.gcasia.info/australia/brochures/pdfs/7704_FUJI%20VII_NEW%20FORMAT.pdf pada 8 Juni 2009
Nunn, J.H. 2000.  British Society of Paediatric Dentistry: A Policy Document on Fissure Sealants in Paediatric Dentistry. International Journal of Paediatric Dentistry diakses dari http://www.bspd.co.uk/publication-19.pdf pada 8 Juni 2009
Paarmann, Carline, RDH, MEd. 1991. Application of Pit and Fissure Sealants. Diakses dari http://www.pte.idaho.gov/Forms_Publications/Health/Curriculum/DentalApplicationOfPitAndFissureSealants.pdf pada 6 juni 2009.
Pinkham, J.R. 1994. Pediatryc Dentistry, Infancy Trough Adolescence second edition. Philadelphia: W.B Saunders Co
Subramaniam P. 2008. Retention of Resin Based Sealant and Glass Ionomer used as a Fissure Sealant: a Comparative Study. Jurnal Indian Soc. Pedodontics Prevent Departemen diakses dari http://www.jisppd.com/temp/JIndianSocPedodPrevDent263114-3280171_090641.pdf pada 8 Juni 2009
Walsh, Laurence J, Prof. 2006. Pit and Fissure Sealant: Current Evidence and Concepts. Dental Practice Journal. Diakses dari https://espace.library.uq.edu.au/eserv/UQ:13804/Sealants_2006.pdf pada     8 Juni 2009
Wheeler, Russel C, DDS, FACD. 1974. Dental Anatomy, Physiology and Occlusion. Philadelphia : W.B Saunders Company

0 komentar:

Posting Komentar